Kota Lama Potongan Sejarah Semarang Jawa Tengah

 Kota Lama adalah potongan sejarah, karena dari sinilah ibukota Jawa Tengah ini berasal. Semarang dan Kota Lama seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan begitu saja. Dan tentu saja ini menghadirkan keunikan tersendiri. Sebuah gradasi yang bisa dibilang jarang ada ketika dua generasi disatukan hingga menciptakan gradasi yang cantik sebenarnya.


Pada dasarnya area Kota Lama Semarang atau yang sering disebut Outstadt atau Little Netherland mencakup setiap daerah di mana gedung-gedung yang dibangun sejak zaman Belanda. Namun seiring berjalannya waktu istilah kota lama sendiri terpusat untuk daerah dari sungai Mberok hingga menuju daerah Terboyo.


Secara umum karakter bangunan di wilayah ini mengikuti bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail bangunan yang khas dan ornamen-ornamen yang identik dengan gaya Eropa. Seperti ukuran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang unik, sampai adanya ruang bawah tanah. Hal ini tentunya bisa dibilang wajar karena faktanya wilayah ini dibangun saat Belanda datang. Tentunya mereka membawa sebuah konsep dari negara asal mereka untuk dibangun di Semarang yang nota bene tempat baru mereka. Tentunya mereka berusaha untuk membuat kawasan ini feels like home bagi komunitas mereka.


Dari segi tata kota, wilayah ini dibuat memusat dengan gereja Blenduk dan kantor-kantor pemerintahan sebagai pusatnya. Mengapa gereja? Karena pada saat itu pusat pemerintahan di Eropa adalah gereja dan gubernurnya. Gereja terlibat dalam pemerintahan dan demikian pula sebaliknya.


Bagaimanapun bentuknya dan apapun fungsinya saat ini, Kota Lama merupakan aset yang berharga bila dikemas dengan baik. Sebuah bentuk nyata sejarah Semarang dan sejarah Indonesia pada umumnya.


Kota Tua


Semarang memiliki kawasan permukiman bersejarah yang lengkap dan unik, seperti Kauman, Kampung Melayu, Pecinan, dan Little Netherland. Sayangnya, kawasan-kawasan tersebut terancam dari berbagai penjuru sehingga perlu usaha ekstracerdas untuk melestarikannya.


Bagi para arsitektur, Semarang memiliki segudang laboratorium alam ilmu desain yang menggairahkan. Ya, dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu telah melahirkan berbagai karya desain bangunan yang berasal dari penggalian Kota Semarang tempo dulu.


Coba tengok di Kampung Kauman yang terletak di pusat Kota Semarang. Kawasan ini terdiri dari kampung-kampung kecil Bangunharjo, Patihan, Kepatihan, Book, Jonegeran, Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompo, Krendo, Masjid, Kemplongan, Pungkuran, Suromenggalan, dan Kadipaten.


Setiap kampung memiliki karakteristik masyarakat dan arsitektur bangunan yang khas. Kekayaan pengetahuan ini dapat menjadi modal utama dalam rangka pencarian jati diri bagi sebuah kota.


Cikal Bakal


Para pakar berpendapat, Kauman merupakan cikal bakal budaya khas Semarangan. Tradisi Dugderan misalnya, berasal dari masyarakat santri yang bermukim di Kauman yang berpotensi menarik minat wisatawan.


Pada awalnya, Kauman dihuni oleh para santri Ki Ageng Pandan Arang. Masjid Agung Kauman dan Musala Kanjengan yang menjadi ciri khas kawasan permukiman di Jl Kauman ini sampai sekarang masih berdiri dengan anggunnya.


Berdampingan dengan Musala Kanjengan, pewaris ayahnya, Ki Ageng Pandan Arang II, pernah membangun dalem (pendopo). Menurut peta pada tahun 1695, di sekitar dalem juga terdapat permukiman para abdi dalem. Jadi, di sinilah awal mula Kota Semarang berada.


Tak hanya itu. “Embrio perkembangan arsitektur khas Semarangan bermula di Kauman,” kata Wijanarka dalam bukunya Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah (2007). Dosen Arsitektur di Universitas Palangkaraya ini mengungkapkan, pada tahun 1995, di Kampung Kauman terdapat 82 bangunan kuno berupa masjid dan rumah.


Desain masjidnya mengadopsi model Masjid Agung Demak dengan atap berbentuk limas bersusun tiga. Sementara itu, bangunan rumahnya sebagian besar terbuat dari kayu. “Jika dikelompokkan menurut style facade, dari 8 tipe bangunan rumah tersebut, 6 tipe merupakan style facade rumah tinggal khas Kauman Semarang.


Kauman tempo dulu sungguh elok. Tak jauh dari masjid tersebut terhampar alun-alun sebagai tempat multifungsi. Bangunan dalem (kanjengan) juga ikut menambah kekhasan Kauman.


Kini, ruang terbuka berupa alun-alun dan bangunan kanjengan tersebut telah sirna. Ia telah menjadi cerita manis yang hanya bisa dituturkan para pendahulu kepada generasi penerus.


Bangunan bersejarah yang menjadi situs kota lama Semarang tersebut telah berubah menjadi Pasar Johar. Tak jelas, mengapa kawasan penuh makna dan bersejarah itu dapat dengan mudahnya digusur.


Kampung Melayu


Kalau Anda ingin menikmati perkampungan yang multi-etnis, seperti Cina, Banjar, dan Arab, cobalah tengok Kampung Melayu. Berbagai budaya berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragam.


Di situ terdapat kampung-kampung kecil, seperti Pecinan, Kampung Banjar, Kampung Kali Cilik, Kampung Melayu Darat, Kampung Cirebonan, Kampung Melayu Besar, dan Kampung Pranakan. Setiap kampung memiliki citra etnis pada arsitektural rumah yang khas. Desain rumah Banjar misalnya, memiliki enam variasi yang unik.


Selain itu, Kampung Melayu juga memiliki dua bangunan bersejarah, yakni Masjid Menara dan Kelenteng. Toleransi antarumat dapat menjadi contoh betapa kebinekaan yang dibalut dengan kedamaian, dapat menjadi kehidupan yang sangat indah.


Sayangnya, ketika air laut pasang, Kampung Melayu yang berada di tepi Kali Semarang terendam rob. Air itu menggenangi kawasan permukiman melalui selokan-selokan yang langsung berhubungan dengan Kali Semarang.


Beralih ke kawasan Pecinan, Anda akan terpana dibuatnya. Jangan kaget kalau di setiap persimpangan jalan utama, Anda disuguhi bangunan kelenteng dengan corak dan warna mencolok.


Rumah-rumahnya juga berarsitektur Cina dengan 10 tipe. Sebagian besar hunian ini juga merangkap menjadi kawasan perdagangan yang terus berdenyut selama 24 jam. Ada juga pasar tradisional khas Cina.


Jika Anda penasaran dengan kawasan Little Netherland, silakan mampir sejenak ke jalan protokol di Jl Suprapto, Semarang. Kawasan tersebut dinamakan Little Netherland karena pada awalnya (sekitar tahun 1741) dihuni oleh kolonialis Belanda.


Selain permukiman bercorak Eropa, kawasan ini juga terdapat perkantoran, perdagangan, dan hotel. Kawasan yang berdekatan dengan Stasiun Tawang itu memiliki landmark berupa Gereja Blenduk.


Kehadiran gereja yang terletak di tengah-tengah kawasan itu cukup menonjol. Bukan apa-apa, gereja ini terlihat paling tinggi di antara bangunan-bangunan lainnya. Secara keseluruhan, keragaman bangunan arsitektur di Little Netherland ini berlanggam art deco, renaisance, barouqe, dan Semarangan.


Berada di sisi utara Semarang, secara geografis, posisi Little Netherland sebenarnya tidak menguntungkan. Betapa tidak, jika terjadi air laut pasang, kawasan ini kerap tergenang air laut. Rob telah melumpuhkan sebagian daratan rendah dari berbagai aktivitas.


Tak mudah memang menangani rob yang kian ganas dari waktu ke waktu. Dampak pemanasan global (global warming) menjadikan berbagai kawasan pantai utara Jawa—termasuk Semarang—diterjang air laut ketika pasang.


Menurut Direktur Tata Ruang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr Subandono Diposaptono, jika tak ada upaya mengerem laju kenaikan suhu udara, dalam 20 tahun mendatang wilayah pesisir Semarang akan tergenang air laut sedalam 16 cm.


Tak hanya kawasan Little Netherland dan Kampung Melayu yang terendam semakin dalam, ruas jalan lokal, ribuan rumah, puluhan hektare sawah, dan ribuan hektare tambak bakal terganggu akibat merangseknya air laut.


Sudah dapat dibayangkan kerugian yang bakal diderita. Ratusan miliar rupiah bakal melayang akibat kerusakan jalan, rumah, sawah, dan tambak.


Angka ini belum termasuk kerugian akibat terganggunya aktivitas perekonomian seperti perdagangan dan transportasi. Kawasan bersejarah itu menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.


Ancaman dari berbagai penjuru, baik lokal maupun global, mengepung wilayah itu. Dibutuhkan usaha ekstracerdas untuk menghadapi ancaman tersebut agar kawasan tersebut tetap lestari.


Menjaga Kelestarian Keberagaman Arsitektur Semarang


Tidak mudang memang menjaga kelestarian arsitektur Kota Semarang yang beragam dan multi-etnis. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan ancaman pemanasan global yang disertai kenaikan muka air laut yang telah menggenangi kawasan pesisir, khususnya di Kampung Melayu dan Little Netherland.


Dibutuhkan upaya serius dari seluruh umat manusia di dunia untuk mengurangi ganasnya rob. Hemat energi, menanam pohon, dan berperilaku hidup ramah lingkungan harus digalakkan secara serentak sejak dini.


Di sisi lain, pola hidup yang modern juga menjadi ancaman lokal. Banyak masyarakat yang mengubah desain bangunan kunonya itu sesuai selera mereka.


Terhadap perilaku semacam ini, arsitek Wijanarka menyarankan empat alternatif. Pertama, kawasan bersejarah tersebut dapat dibeli pemerintah sehingga menjadi aset negara.


Kedua, para pemerhati atau pencinta kawasan bersejarah, baik perorangan maupun organisasi yang mampu secara ekonomi membeli kawasan tersebut sehingga memiliki kejelasan kepemilikan.


Ketiga, para arsitek yang sedang menangani kawasan bersejarah memakai prinsip desain, aturan perancang, dan proses desain sebagai dasar dalam mendesain karya mereka. Keempat, jika ketiga alternatif tersebut tak dapat dilakukan, maka perlu komunikasi, penyuluhan, atau pelatihan desain pelestarian dan pengembangan kawasan bersejarah.


Dengan demikian, kata Wijanarka, masyarakat yang bermukim di kawasan bersejarah tersebut menyadari bahwa kawasan yang mereka huni itu memiliki makna penting dalam sejarah perkembangan kotanya. “Dan ini perlu dilestarikan dan dikembangkan,” tuturnya.


Gedung Tua Semarang


JIKA Singapura bisa memiliki dan mempertahankan kawasannya yang disebut Little India, China Town dan Kampung Melayu sebagai salah satu obyek wisata menarik, mengapa Semarang tidak? Seperti di negara tetangga tersebut, Semarang memiliki Kota Tua yang tidak kalah menariknya dibanding Little India, China Town dan Kampung Melayu.


Dilihat dari jumlah bangunan dan bentuknya, Kota Tua jauh lebih besar. Bangunan-bangunan tua tersebut berumur lebih dari satu abad, bahkan sudah mendekati dua setengah abad. Gereja Blenduk yang merupakan bangunan tertua di kawasan itu misalnya, dibangun pada tahun 1753 di zaman pendeta Johanennes Wihelmus Swemmelaar.


Gereja dengan kubahnya yang unik ini konon pernah limbung. Pondasi bangunannya di bagian timur sempat ambles beberapa sentimeter sehingga dikhawatirkan akan menganggu konstruksi seluruh bangunan. Untung kemudian hal itu bisa diatasi dengan melakukan perbaikan, sehingga kekhawatiran kerusakan lebih parah bisa dihindarkan.


Akan tetapi hal itu bukanlah satu-satunya persoalan yang dihadapi Pemda Kota Semarang dalam menjaga salah satu ciri khas yang dimilikinya. Kota Tua menyimpan sejumlah bangunan tua lainnya yang kini kelihatan makin rapuh. Di beberapa tempat tampak bagian tembok mulai jebol dan pintu-pintu bangunan yang terbuat dari kayu jati kelas satu sudah mulai dimakan pelapukan akibat kurang perawatan.


SEMARANG memang merupakan contoh menarik sebagai daerah pantai yang dirancang pemerintah kolonial Belanda sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang dibangun di wilayah bagian utara. Sedangkan wilayah selatan yang merupakan daerah berbukit-bukit dirancang sebagai kawasan hunian dan peristirahatan.


Kota Tua yang memiliki sekitar 80 bangunan tua yang sebagian besar dibangun pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, terletak di wilayah bagian utara. Dari ketinggian bukit-bukit di bagian selatan, setiap orang bisa menikmati keindahan Kota Tua dengan latar belakang Pelabuhan Tanjung Mas dan Laut Jawa. Kerlap-kerlip lampu kota dan lampu pelabuhan kelihatan di malam hari.


Kini setelah lebih dari satu abad, perkembangan kota sudah sangat lain. Stasiun Jurnatan yang dikenal sebagai stasiun sentral sekaligus stasiun tertua, sudah tidak ada lagi. Di atas daerah yang dulunya merupakan stasiun yang menghubungkan Semarang dengan Jomblangbulu itu, kini berderet bangunan pertokoan.


Menyadari kekeliruannya, Pemda Kota Semarang kemudian berusaha mempertahankan bangunan tua lainnya, terutama yang terletak di seputar Kota Lama. Bangunan itu bukan hanya memiliki nilai estetika tinggi, tetapi juga merupakan aset kota yang sekaligus mempunyai nilai budaya dan ekonomi.


Bagi wisatawan, terutama mereka yang berasal dari luar negeri, Kota Tua mempunyai daya pikat tersendiri. Mereka bisa berjalan menyusuri Jalan Letjen Suprapto yang membelah Kota Tua serta jalan-jalan yang lebih kecil di kiri kanannya seraya menikmati bangunan tua di kiri-kanannya. Bahkan bagi wisatawan dari Negeri Belanda, perjalanan mengelilingi Kota Tua merupakan catatan tersendiri yang merupakan nostalgia menyusuri “jalan kenangan”.


Untuk membedakan jalan di “Kota Tua” dengan jalan di sekitarnya, aspal jalan “Kota Tua” ditutup paving block. Selain mengesankan lebih artistik, tinggi badan jalan bisa lebih tinggi sehingga mengurangi kemungkinan ancaman banjir yang sudah menjadi bencana rutin kota Semarang.


SAYANG, keindahan itu harus punya beban kondisi bangunan-bangunannya yang memprihatinkan serta hiruk-pikuk arus lalulintas kendaraan. Terutama pada siang hari, arus kendaraan hampir tak pernah henti sehingga bisa menimbulkan getaran yang mengganggu kestabilan bangunan, di samping sangat menganggu para pejalan kaki.


Namun, ancaman paling berat selama ini adalah akibat kurangnya perawatan. Bangunan-bangunan Kota Tua umumnya merupakan bangunan besar berlantai dua. Kecuali beberapa instansi atau perusahaan tertentu, seperti PT Telkom, Kantor Pos, PT Asuransi Jiwasraya, sebagian besar bangunan lainnya digunakan oleh lebih dari satu perusahaan. Bahkan ada di antaranya yang menggunakan satu bangunan lebih dari satu perusahaan atau kegiatan usaha.


Ada yang menggunakan sebagai cabang kantor dagang, kantor pelayaran, kantor notaris dan pengacara serta kantor-kantor lainnya. Kemampuan kegiatan usaha tersebut tidak sama. Bahkan karena skala usahanya tergolong kecil, mereka hanya mampu membayar sewa tanpa bisa melakukan perawatan, apalagi perbaikan. Akibatnya, sebagian besar kondisi bangunan Kota Tua mengalami kerusakan. Genting-genting yang bocor dibiarkan sehingga air menggenangi lantai dan mempercepat proses kerusakan bahan bangunan. Bangunan lantai dua yang terakhir digunakan PT Perkebunan XV misalnya, dibangun tahun 1887. Tanggal 17 Agustus 1974 bangunan tersebut diresmikan pemakaiannya setelah mengalami renovasi. Namun sejalan dengan perubahan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut, kini sebagian besar ruang dari gedung tersebut dan gedung-gedung lainnya, dalam keadaan kosong.


Tembok luar bangunan yang terletak di bagian paling atas, sudah ditumbuhi tanaman liar. Akar-akarnya mencengkeram, merusak tembok bangunan. Penderitaan bangunan itu makin lengkap jika turun hujan. Pada siang hari, ruang kosong yang terletak di bawah genting dan langit-langit bangunan dijadikan sarang ratusan ribu kelelawar sehingga gedung tersebut dijuluki “Gedung Kelelawar”.


Nasib yang tidak jauh berbeda, bahkan lebih parah lagi dialami sejumlah bangunan-bangunan tua lainnya. Tembok-temboknya dibiarkan terkelupas dan batu-batanya mulai lepas. Kayu-kayu bangunan yang terbuat dari jati atau kayu pilihan lainnya sudah mulai dimakan aus akibat terendam air pada setiap turun hujan. Di luar Kota Tua, bangunan tua yang megah Lawang Sewu yang menjadi ciri khas kota Semarang kini mulai kehilangan pamor. Bangunan tersebut dirancang dengan arsitektur modern, merupakan karya Prof Klinkkmaer dan Quendaq.


Seperti halnya di daerah-daerah lain, ancaman paling besar terhadap bangunan-bangunan tua di kota ini berasal proses waktu yang memakan kekuatan bangunan itu sendiri. Adanya serangan air hujan hanyalah salah satu sebab, di samping terik matahari yang menjadi faktor penyebab yang bisa mempercepat proses kerapuhan bangunan secara alami.


Apalagi jika pemerintah kota tidak mampu mengendalikan banjir yang kini sudah menjadi langganan rutin wilayah utara Semarang pada setiap musim hujan. Dengan kurangnya perawatan, seberapa lamakah kekayaan yang mempunyai nilai budaya dan ekonomi itu bisa bertahan?

Komentar